Pendahuluan
Pulau Gag, salah satu pulau kecil dengan luasan sekitar 65 km² di gugusan Raja Ampat, Papua Barat Daya, kini kembali menjadi sorotan publik. Pulau ini tidak hanya dikenal sebagai bagian dari kawasan hutan lindung tetapi berada di sekitar kawasan konservasi laut paling kaya biodiversitas di dunia yakni rumah bagi 75 % koral dunia dan sekitar 2.500 spesies ikan dan bagian dari UNESCO Global Geopark Raja Ampat. Di sisi lain, tetapi juga sebagai lokasi tambang nikel yang telah dieksplorasi sejak puluhan tahun silam. Di tengah gelombang kebijakan hilirisasi mineral dan konservasi lingkungan global.
Sejarah Panjang Penambangan di Pulau Gag
Sejarah eksploitasi sumber daya alam Pulau Gag tidak dimulai hari ini. Pada era 1960-an, tim geologi internasional menemukan cadangan nikel laterit dalam jumlah signifikan di pulau ini. Namun kegiatan eksploitasi besar-besaran belum dilakukan, karena keterbatasan teknologi dan kesadaran lingkungan yang masih rendah.
Baru pada 1996, PT Gag Nikel resmi dibentuk sebagai perusahaan patungan antara raksasa tambang dunia BHP Billiton (Australia) dengan PT Aneka Tambang (ANTAM), di mana BHP memegang 80% saham dan ANTAM 20%. Pemerintah mengesahkan Kontrak Karya (KK) yang memberikan hak tambang resmi kepada PT Gag Nikel. Rencana pembangunan tambang skala industri pun digulirkan.
Sayangnya, rencana tersebut ditentang keras oleh kalangan aktivis lingkungan dan masyarakat adat Raja Ampat. Mereka khawatir aktivitas tambang akan merusak ekosistem pulau kecil yang hanya memiliki luas sekitar 133 km² ini di samping itu pemerintah juga melarang penambangan di pulau kecil dengan luas , 2000 Km2 karena beresiko tinggi merusak lingkungan hal ini tertuang dalam UU No. 41/1999 melarang open pit mining di kawasan hutan lindung seperti Pulau Gag. Tekanan itu berbuah hasil: pada 2004, BHP Billiton mundur dari proyek ini, meninggalkan Antam sebagai pemegang penuh saham PT Gag Nikel.
Kebangkitan Tambang di Tengah Larangan
Meskipun sempat terhenti, PT Gag Nikel kembali menghidupkan rencana tambang seiring perubahan regulasi pemerintah Indonesia, mengingat Pulau Gag berstatus kawasan hutan lindung masih menjadi kendala yang perlu terselesaikan. Setelah melalui serangkaian studi dan evaluasi, Hingga Antam dan pemerintah daerah Papua Barat Daya perlahan menyiapkan landasan operasional tambang. Pengurusan Izin-izin lingkungan dan kehutanan, termasuk izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) mengingat Pulau Gag berstatus hutan lindung. PT Gag Nikel pun harus menyesuaikan perizinan sesuai aturan baru yakni UU Minerba No. 4/2009, yang mendorong hilirisasi nikel untuk industri baterai dan kendaraan listrik. Pada 2017, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) proyek ini disetujui, diikuti terbitnya Izin Usaha Pertambangan (IUP).
Mulai 2018–2019, PT Gag Nikel melakukan aktivitas pertambangan terbuka, meski tanpa membangun smelter di lokasi, karena larangan pemerintah untuk mendirikan fasilitas industri di pulau kecil. Bijih nikel dari Pulau Gag diangkut ke luar pulau untuk diolah.
Konflik dengan Status Konservasi
Greenpeace dan Koalisi Save Raja Ampat terus mendesak pemerintah meninjau ulang operasi ini, karena berdasarkan UU No. 27/2007 dan UU No. 1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, aktivitas tambang di pulau kecil <2000 km² yang berstatus konservasi atau hutan lindung dilarang keras, mengingat Pulau Gag luasnya hanya sekitar 56 km² yang mana artinya pulau Gag masuk dalam kriteria ini. Apalagi bagian laut sekitarnya masuk zona Konservasi Laut Raja Ampat, menambah alasan larangan. Data spasial menunjukkan bahwa izin tambang ini tumpang tindih dengan zona perlindungan lingkungan yang diakui secara nasional dan internasional.
Pada tahun 2023, kawasan Raja Ampat bahkan ditetapkan sebagai Geopark Dunia oleh UNESCO, menambah lapisan penting konservasi. Namun ironisnya, di tengah peningkatan status ini, aktivitas tambang nikel di Pulau Gag tetap berjalan, membuat LSM lingkungan dan masyarakat adat angkat suara.
Keputusan Presiden dan Kontroversi Terbaru
Pada awal Juni 2025, Presiden RI mengeluarkan keputusan tegas: mencabut empat izin tambang di Raja Ampat, sebagai langkah melindungi kawasan ini dari kerusakan permanen. Namun menariknya, izin PT Gag Nikel tetap dipertahankan, dengan alasan bahwa operasinya sudah berjalan dan memenuhi persyaratan hukum.
Risiko Lingkungan yang Mengintai
Sumber: researchgate.net
Saseperrti yang terlihat pada peta di atas, di bagian utara pulau Gag terdapat sebaran peta trumbu karang, selain itu Pulau Gag juga berada di sekitar beberapa area vital seperti area Konservsi, area trumbu karang area menyelam dan area aquaculture sehingga berbagai kajian lingkungan memperingatkan potensi dampak serius dari aktivitas tambang di Pulau Gag antara lain:
- Sedimentasi yang mengancam terumbu karang, berdasarkan laporan Greenpeace & BPLH Papua Barat: terjadi run-off lumpur merah dari lokasi tambang ke perairan sekitar. Sedimentasi ini menurunkan kualitas air, mengancam 75% spesies koral dunia yang ada di Raja Ampat. Selain itu Studi “ridge-to-reef” dari universitas internasional yakni, sedimentasi meningkatkan kekeruhan air, memicu bleaching, dan menghambat regenerasi terumbu karang.
- Rusaknya habitat satwa endemik darat dan laut, Sedimentasi dan getaran dari aktivitas tambang dapat mengganggu pergerakan dan reproduksi hewan ini. Mengingat juga area tambang dekat jalur migrasi manta ray (sekitar Eagle Rock dan Kawe), yang merupakan lokasi wisata selam dunia
- Pencemaran air dan tanah yang bisa berdampak jangka panjang, Hal ini terjadi karena hilangnya hutan yang berdampak pada Erosi tanah, Hilangnya habitat burung endemik dan reptil langka, Penurunan tutupan karbon alami. Yang menyebabkan degradasi serta pencemaran air yang bersumber dari limbah cair tambang apabila tidak di tangani dan dikelola dengan baik.
- Ancaman terhadap sumber air bersih satu-satunya di pulau kecil ini. Pulau kecil seperti Gag bergantung pada air tanah dangkal sehingga risiko pencemaran air tanah oleh logam berat (nikkel, kromium) dari tambang terbuka menjadi isu besar sehingga sangat berpotensi keracunan air minum dan irigasi untuk masyarakat lokal sudah diidentifikasi.
- Deforestasi di Hutan Lindung Pulau Kecil (< 2000 km²). Ada lebih dari 500 hektar hutan primer dan vegetasi pesisir telah dibuka untuk tambang. Salah satunya Pulau Gag yang merupakan pulau kecil dengan total luas ±65 km², yang mana menurut UU Lingkungan Hidup Indonesia, seharusnya pulau kecil dilindungi dari aktivitas tambang skala besar karena risiko kerusakan permanen. Selain itu Kehilangan hutan ini akan berdampak pada Erosi tanah, Hilangnya habitat burung endemik dan reptil langka, Penurunan tutupan karbon alami.
Tekanan dan Kritik Global
Karena Kasus ini banyak tekanan dan kritik global yang kini menyoroti kasus di Pulau ini yakni, antara lain:
- Tekanan dari LSM Internasional: Greenpeace, WALHI, dan Mongabay secara terbuka meminta penghentian tambang karena ancaman permanen terhadap UNESCO World Heritage Candidate Site Raja Ampat. Hal iniberpotensi sanksi reputasi global bagi Indonesia sebagai pengelola kawasan konservasi dunia.
- Desakan dari UNESCO & Global Geopark Network: Raja Ampat diusulkan menjadi situs warisan dunia UNESCO. Sehingga Operasi tambang di kawasan ini bisa membatalkan proses ini karena menyalahi prinsip konservasi mutlak.
- Tekanan Industri Hijau Global: Produsen baterai EV (Electric Vehicle) di Eropa dan AS mulai enggan menerima nikel dari tambang bermasalah lingkungan (greenwashing risk). Hal ini tertuang dalam perjanjian Critical Raw Material Act meminta pasokan “nickel ESG compliant” (ramah lingkungan dan sosial).
- Kritik Dunia Pariwisata Ekologi: Raja Ampat dikenal sebagai “Amazon-nya laut dunia”. Dengan hancurnya lingkungan di sini dapat mengakibatkan penurunan kunjungan turis selam & snorkeling, sehingga dapat mengguncang ekonomi wisata lokal senilai jutaan USD per tahun, dan menghancurkan reputasi Indonesia di pasar eco-tourism global.
Pulau Gag di Persimpangan Jalan
Pulau Gag kini berdiri di antara dua pilihan besar yakni, menjadi penopang industri nikel nasional atau menjadi bagian dari warisan dunia Raja Ampat yang lestari. Keputusan pemerintah untuk mempertahankan izin PT Gag Nikel mempertegas dilema antara kebutuhan pembangunan ekonomi dan komitmen konservasi lingkungan.
Kesimpulan
Kasus tambang nikel di Pulau Gag menggambarkan dilema klasik yang dihadapi banyak negara berkembang: kebutuhan untuk mengeksploitasi sumber daya alam demi pertumbuhan ekonomi nasional juga kewajiban melindungi lingkungan dan warisan alam dunia. Pulau kecil ini memiliki dua identitas yang saling bertolak belakang yakni, sebagai wilayah tambang strategis nikel laterit dan sekaligus bagian dari kawasan konservasi Raja Ampat yang diakui dunia karena kekayaan keanekaragaman hayatinya.
Meskipun PT Gag Nikel mengantongi izin resmi dan mengklaim memenuhi persyaratan hukum, fakta di lapangan menunjukkan adanya potensi besar kerusakan lingkungan seperti sedimentasi terumbu karang, pencemaran air tanah, hingga hilangnya hutan lindung. Selain itu tekanan dari komunitas internasional, termasuk Uni Eropa dan Amerika Serikat melalui kebijakan Critical Raw Material Act, menuntut agar seluruh rantai pasok nikel global memenuhi standar ESG (Environmental, Social, Governance) yang ketat, yang menjadi tantangan berat bagi operasi tambang di Pulau Gag.
Selain itu, protes dari LSM lingkungan, masyarakat adat, serta sorotan UNESCO terhadap kawasan Raja Ampat sebagai calon Warisan Dunia menambah kompleksitas isu ini. Pemerintah Indonesia kini berada di persimpangan jalan besar: melanjutkan ambisi hilirisasi nikel demi industri baterai listrik global, atau menghentikan tambang Pulau Gag demi melindungi integritas ekologis Raja Ampat yang bernilai tak tergantikan.
Untuk sebelum melakukan kegiatan penambangan penting untuk memperhatikan dengan seksama aspek teknis pertambangan, keselamatan dan lingkungan sehingga kegiatan usaha tidak hanya digunakan untuk memperoleh keuntungan semata, akan tetapi tetap dapat menjaga kelestarian lingkungan hidup serta penting untuk menjalankan usaha pertambangan yg mematuhi regulasi dan perizinan yang ada,
Keputusan apapun yang diambil akan berdampak jangka panjang, bukan hanya bagi ekosistem Raja Ampat, tetapi juga bagi reputasi Indonesia di mata dunia dalam menjaga kelestarian lingkungan dan tata kelola pertambangan yang berkelanjutan.
Daftar Pustaka
- Greenpeace Indonesia. (2024). Laporan Dampak Pertambangan Nikel di Pulau Gag: Ancaman terhadap Ekosistem Raja Ampat. Jakarta: Greenpeace Southeast Asia.
- Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Papua Barat. (2023). Kajian Lingkungan Strategis Kawasan Konservasi Raja Ampat. Manokwari: Bappeda Papua Barat.
- WALHI. (2023). Pulau-Pulau Kecil dalam Ancaman: Studi Kasus Pulau Gag Raja Ampat. Jakarta: Wahana Lingkungan Hidup Indonesia.
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba).
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2007 jo. UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
- UNESCO Global Geoparks Network. (2023). Raja Ampat Global Geopark Nomination Dossier. Paris: United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization.
- Critical Raw Material Act (CRMA). (2023). Regulation on Sustainable Supply of Critical Raw Materials for the EU Green Deal. Brussels: European Commission.
- Mongabay Indonesia. (2024, December 18). “Dampak Lingkungan Tambang Nikel di Pulau Gag Raja Ampat.” Diakses dari: https://www.mongabay.co.id/2024/12/18/dampak-tambang-nikel-di-pulau-gag/
- Antara News. (2025, June 3). “Presiden Cabut 4 Izin Tambang di Raja Ampat, PT Gag Nikel Masih Beroperasi.” Diakses dari: https://www.antaranews.com/berita/presiden-cabut-izin-tambang-raja-ampat